Sadharanikaran Komunikasi Model
-
Dr.
Nirmala Mani Adhikary
Kathmandu University, Nepal.
nirmalam.adhikary@gmail.com
Indonesian translation by: I Gusti Made Arya Suta Wirawan
Sadharanikaran
Komunikasi Model merupakan representasi dari proses komunikasi dalam perspektif
Hindu. Ia merupakan deskripsi sistematis dalam bentuk diagram dari proses
mencapai pemahaman bersama, sebuah kondisi timbal balik atau kesatuan antara
pihak yang berkomunikasi. Ini menggambarkan bagaimana pihak yang berkomunikasi
berinteraksi dalam sistem (yaitu, proses sadharanikaran) untuk
pencapaian saharidayata. Saharidayata adalah
konsep inti yang mana makna sadharanikaran berada di
atasnya. Ini adalah keadaan dari orientasi, kesamaan, saling pengertian atau
kesatuan umum. Dengan selesainya proses sadharanikaran pihak
yang berkomunikasi (pengirim dan penerima pesan) akan menjadi sahridayas.
Penelitian
ini merupakan sebuah kajian pustaka terhadap dua kitab yakni Natyashastra dan Vakyapadiya. Dua
kitab ini merupakan dua kitab yang secara konseptual memberikan penjelasan
tentang komunikasi dalam konteks spiritualitas Hindu. Dua kitab ini tidak hanya
memberikan penjelasan teknis namun juga hakekat dari komunikasi. Selain dua
kitab tersebut, penelitian ini juga melakukan kajian terhadap beberapa jurnal
dari Dr. Nirmala Mani Adhikary yang menjelaskan studi komunikasi dalam
perspektif Hindu.
Sadharanikaran sebagai
konsep/teori tidak harus dibingungkan dengan model sadharanikaran. Sadharanikaran,
merupakan salah satu teori yang signifikan dalam bahasa puisi Sansekerta,
memiliki akar dalam kitab Natyashastra dan diidentifikasi dengan Bhattanayaka.
Sedangkan, yang terakhir mengacu pada model komunikasi yang mengacu pada konsep
/ teori sadharanikaran klasik bersama dengan sumber daya lainnya dalam rangka
untuk memvisualisasikan perspektif Hindu pada komunikasi.
Sahridayata adalah
konsep inti yang di atasnya makna sadharanikaran berada. Ini
adalah keadaan orientasi umum, kesamaan atau kesatuan. Pengirim dan penerima
menjadi sahridayas dengan selesainya proses sadharanikaran.
Dalam masyarakat yang memiliki hubungan asimetris antara pihak-pihak yang
berkomunikasi, hanya karena sahridayata komunikasi dua arah
dan saling pengertian dapat dicapai. Dengan demikian, pihak yang berkomunikasi
dapat mencapai sahridayata terlepas dari hirarki kasta,
bahasa, budaya dan praktik keagamaan yang kompleks, dan proses komunikasi
memenuhi syarat untuk dianggap sebagai sadharanikaran.
Sadharanikaran,
sebagai proses komunikasi, terdiri dari sahridayas sebagai
pihak yang berkomunikasi. Sebagai ‘istilah teknis’, kata tersebut menunjuk
kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengirim dan menerima pesan.
Mereka adalah pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, dan mampu
mengidentifikasi satu sama lain sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan.
Seorang sahridaya adalah orang yang berada dalam keadaan
intensitas emosional yang sama kedudukannya atau paralel dengan yang lain yang
terlibat dalam komunikasi. Idealnya, istilah ini mengacu pada orang-orang
tersebut yang tidak hanya bergerak di bidang komunikasi, tetapi juga yang telah
mencapai keadaan khusus: sahridayata. Dengan demikian, sahridaya adalah
seseorang yang telah mencapai sahridayata. Dengan demikian, sadharanikaranadalah
proses mencapai sahridayata, dan, model sadharanikaran menggambarkan
proses tersebut.
Model komunikasi sadharanikaran mengilustrasikan
bagaimana pihak-pihak yang berkomunikasi berinteraksi dalam sebuah sistem
(proses sadharanikaran) untuk mencapai sahridayata.
Model tersebut mengandung elemen di bawah ini:
1.
Sahridayas (Preshaka-pengirim pesan, dan Prapaka-penerima
pesan)
2.
Bhava (keadaan pikiran atau hati atau emosi)
3.
Abhivyanjana (ekspresi or encoding)
4.
Sandesha (pesan atau informasi)
5.
Sarani (saluran)
6.
Rasaswadana (penerima pertama, decoding dan
menginterpretasi pesan dan
akhirnya mencapai rasa)
7.
Doshas (gangguan)
8.
Sandarbha (konteks)
9.
Pratikriya (proses timbal balik)
Mengacu pada ilmu komunikasi, abhivyanjana dapat
diartikan sebagai sebuah ekspresi atau encoding. Dalam sadharanikaran, encoding sendiri
bisa diartikan sebagai penyederhanaan (simplification).
Penyederhanaan merupakan dimensi yang sangat esensial. Dalam proses komunikasi,
konsep-konsep dan ide-ide yang kompleks disederhanakan lewat sang sumber (speaker)
dengan menggunakan ilustrasi atau idiom-idiom sebagai sarana untuk terciptanya
pemahaman bagi si pendengar (receiver). Pendekatan ini membuat
komunikasi menjadi sesuatu yang dinamis, fleksibel, praktis dan instrumen
efektif bagi kontrol dan hubungan sosial.
Jika komunikasi diambil sebagai proses
langkah-demi-langkah, yang hanya demi memudahkan pemahaman, sahridaya-preshaka (pengirim),
yang memiliki bhavas (suasana hati atau emosi atau pikiran
atau ide) dalam pikiran, adalah inisiator dalam proses tersebut. Sang sahridaya (pengirim)
harus melewati proses abhivyanjana untuk
mengekspresikan bhavas mereka dalam bentuk yang dapat
dipahami. Ini adalah sahridaya-prapaka (penerima)
dengan siapa bhavas harus dibagi. Dia harus melewati
proses rasaswadana.
Posisi sahridaya pengirim dan
penerima sahridaya tidak statis. Kedua belah pihak terlibat
dalam proses abhivyanjana dan rasaswadana.
Ketika sadharanikaran berhasil, universalisasi atau
generalisasi tengah berlangsung. Dalam Natyashastra sendiri, Bharata Muni telah
menekankan pada upaya komunikasi total termasuk penggunaan kata-kata serta
anggota badan, gerak tubuh, dan bahasa tubuh bersama dengan konteks fisik untuk
memastikan komunikasi yang terbaik.
Manusia dalam esensi karakteristiknya merupakan
‘tumpukan’ bhavas yang membentuk keberadaan dan bentuknya yang
merupakan bagian dari kesadaran totalnya. Hal ini disebabkan oleh bhavas, yang
selalu manusia tuju, terlibat dalam komunikasi atau proses sadharanikaran.
Jika tidak ada bhavas dan manusia tidak punya keinginan
untuk berbagi bhavas mereka dengan orang lain, maka tidak
akan ada kebutuhan komunikasi. Para bhavas telah
dikategorikan ke dalam jenis yang berbeda, seperti sthayee bhavas (permanen
dominan), atau vyabhichari sanchari bhavas(bergerak atau
sementara) dan satvika atau sattvaja bhavas (berasal
dari pikiran, temperamental).
Abhivyanjana mengacu
pada kegiatan di mana sang sumber menerjemahkan bhavas menjadi
bentuk yang dapat dirasakan oleh indera. Hal ini dapat dipahami sebagai
ekspresi atau pengkodean dalam bahasa istilah komunikasi dalam perspektif barat.
Pedoman utama ketika pengkodean sadharanikaran adalah
penyederhanaan. Dalam proses komunikasi, konsep yang kompleks dan ide-ide
disederhanakan oleh pembicara (source) dengan ilustrasi dan
idiom yang tepat bagi pemahaman para pendengar (penerima pesan). Pendekatan ini
membuat komunikasi yang dinamis, fleksibel, instrumen praktis dan efektif
hubungan sosial dan kontrol.
Coding dan Encoding dalam Shadaranikaran
Sanketa (kode)
adalah sebuah bagian integral dari abhivyanjana. Setiap code
adalah sebuah keharusan dalam termanifestasikannya bhava (emosi). Sanketa merupakan
simbol yang teroganisir dalam aturan-aturan yang spesifik. Sebagai contoh,
bahasa adalah sebuah sanketa. Sehingga para pengirim informasi
menyederhanakan kode-kode yang ada. Agar komunikasi bisa berhasil, baik
pengirim maupun penerima informasi harus memahami kode-kode yang
digunakan. Abhivyanjanadapat berupa kode verbal maupun
non-verbal, dan kedua kode dapat digunakan secara simultan.
Pada abhivyanjana verbal,
kata-kata/bahasa digunakan sebagai kode. Proses abhivyanjana terdiri
dari empat tahap. Mengacu ke konsep bahasa sebagai kode yang dipahami dalam
linguistik bahasa Sansekerta dan filsafat bahasa Hindu. Di sini, ada empat
tingkatan kata atau tahapan bahasa (Shabda atau Vak) yang
melewati: para, pashyanti, madhyama dan akhirnya kata yang
terucap atau vaikhari. Dengan kata lain, bhava dapat
dirasakan secara eksternal hanya ketika datang ke tingkat vaikhari.
Vaikhari Vak adalah
bentuk perwujudan kata yang dalam hal ini berada pada tingkat yang paling
eksternal. Kata tersebut sering diucapkan oleh pembicara dan didengar oleh
pendengar. Sebelum diucapkan, kata atau Vak berada dalam
pikiran atau intelektualitas, dan disebut sebagai madhyama. Ini
adalah ide, atau serangkaian kata-kata, sebagaimana dipahami oleh pikiran
setelah mendengar atau sebelum berbicara keluar. Ini dapat dianggap sebagai
pidato dalam diri. Selanjutnya dan tahap terdalam, menurut Bhartrihari,
adalah pashyanti Vak. Pashyanti adalah Vakpada
tingkat intuisi langsung, dan dapat dipahami melalui pengalaman. Di sini,
manusia mendapatkan pengalaman langsung dari vakya-sphota,
sebagaimana yang dikatakan Bhartrihari. Dalam Vakyapadiya dan
komentar Vritti nya, istilah ‘para’ tidak digunakan untuk
menunjukkan tingkat keempat dalam berbicara. Bhartrihari mengatakan berbicara
dibagi menjadi tiga bagian, dan ia memperlakukan tingkat ketiga (pasyanti) sebagai
akhir. Hal ini kemudian dalam tradisi bahwa nama ‘para’ muncul, mengacu pada
tingkat keempat. Para Vak adalah Shabda Brahman.
Dalam kasus abhivyanjana non-verbal,
komunikator memiliki berbagai macam kode alternatif. Bharata Muni menggambarkan
alternatif dari abhivyanjana termasuk gerakan anggota badan, representasi
melalui make up dan ekspresi temperamental yang disampaikan
lewat berbagai suara. Beberapa dari mereka sepenuhnya menangani aspek
non-verbal sementara yang lain terdiri beberapa bentuk tersebut. Di bawah angika
abhinaya, ia telah mengarahkan sebanyak 122 jenis karma (seni pertunjukan
atau abhinayas) dengan menggunakan enam Anga (tubuh) dan enam upangas
(penyukung tubuh) dari tubuh manusia.
Menurut Bharata Muni, setiap bhava dikaitkan
dengan baik pengalaman indrawi maupun emosi estetis. Dia menganggap bhavas sebagai
representasi kondisi mental. Mereka tidak datang dari luar, melainkan mereka
selalu tetap dalam pikiran. Namun, mereka tidak selalu dalam keadaan yang
terbangun. Mereka harus atau diaduk oleh faktor eksternal yang disebut vibhava yang
merupakan stimulus atau penentu seperti lagu, burung, gambar, dll. Vibhava mungkin
berupa alamvana atau uddipana. Ketika kita
melihat seekor ular, spontan muncul emosi tertentu yang mana emosi tersebut
disebut alamvana vibhava. Rasa takut akan meningkat karena
gerakan lidah ular dan stimulus tersebut memberikan kontribusi untuk
peningkatan vibhava yang disebut sebagai uddipana
vibhava.
Setelah bhavas dirangsang karena vibhava, anubhava telah
di sana, yaitu, semacam manifestasi yang sekilas, mengangkat mata, senyum,
dll. Anubhavas bisa sesuatu yang internal atau eksternal. Bharata
Muni telah mengidentifikasi tiga anubhavas internal dan delapan yang eksternal.
Para bhavas perlu semacam kode untuk manifestasi mereka.
Untuk ini, mereka harus melewati proses abhivyanjana.
Dengan selesainya proses abhivyanjana, bhavas bermanifestasi
sebagai sandesha. Dengan kata lain, sandesha adalah
sebuah pesan yang merupakan manifestasi dari bhava yang
menjadi bentuk (kode) agar dapat dipahami oleh indera. Ini menjadi
semacam feedback bahwa si pengirim ingin menyampaikan kepada
si penerima. Ini adalah produk fisik yang sebenarnya bahwa sumber encode,
dan di mana alat indera penerima dapat mendeteksi. Dengan kata lain, hal
tersebut adalah ide kode yang menyampaikan makna. Hanya dengan melakukan ‘namaste’ untuk
menjelaskan semua pesan filosofi ‘Adwaita Vedanta’.
Pesan dalam verbal atau non-verbal mungkin tergantung
pada encoding yang dilakukan oleh pengirim. Dalam kasus Natyashastra, pesan
telah dibedakan sebagai angika (gerakan anggota
badan), vachika (penyampaian lisan), aharya (representasi
melalui kostum, make up dan perangkat eksternal) dan sattvika (emosi
dan konsentrasi), masing-masing terdiri berbagai jenis. Misalnya, angika terdiri
dari tiga jenis, sedangkan vachika memiliki dua belas
bentuk.
Untuk transmisi sandesha, perlu ada sarani (saluran
atau media), yang merupakan sarana di mana perjalanan sandesha melintasi
ruang. Pesan yang dikirim oleh sumber atau pengirim tidak dapat mencapai
penerima tanpa saluran atau media. Saluran mungkin sesuai alami untuk sifat
biologis manusia seperti: auditori (pendengaran), taktil (menyentuh), visual
(melihat), penciuman (bau) dan rasa (mencicipi melalui pengecap di lidah)
saluran. Saluran bisa berupa yang artifactual seperti lukisan, patung, surat,
dll. Kedua jenis saluran secara luas dijelaskan dalam Natyashastra. Saluran
mungkin berupa benda mekanik seperti telepon, radio, TV, komputer dan
sebagainya. Perlu untuk mempelajari apakah teks mewarisi konsep semacam
saluran mechanical.
Komunikasi perspektif Hindu tidak akan selesai kecuali
kedua manas (pikiran) dan sharira (tubuh
manusia) dipahami sebagai sarani. Setidaknya hal tersebut
merupakan media guna mencapai proses komunikasi pada dimensi spiritual. Manas dianggap
sebagai indriya keenam (organ sensorik) dalam kepercayaan Hindu dan dianggap
sebagai vibhu (master) dari panca indera. Namun, vibhu bukanlah
otoritas tertinggi dalam hal ini. Sang vibhu adalah atman.
Melampaui dari kehidupan mental merupakan fondasi dari filosofi Hindu. Bahkan,
kehidupan manusia adalah sarana, bukan akhir. Dalam kepercayaan Hindu, tubuh
bukanlah kebenaran hakiki meskipun sangat penting untuk eksistensi duniawi.
Tubuh hanya tempat tinggal sementara atman, dan itu adalah alat atau sarana
yang digunakan oleh atman. Dengan kata lain, sharira adalah sarani (saluran)
dengan menggunakan atman yang telah mencapai moksha.
Dengan penggunaan yang tepat dari berbagai saranis seperti
dibahas di atas, pengirim berhasil mengirimkan pesan ke penerima. Seperti abhivyanjana sangat
penting bagi pengirim sedangkan rasaswadana untuk penerima.
Istilah yang digunakan di sini harus dipahami sebagai ‘istilah teknis’ yang
membawa berbagai makna. Radiusnya adalah dari menerima pesan ke decoding dan
menafsirkan pesan dan akhirnya ke pencapaian rasa tersebut.
Hindu ortodoks menggunakan istilah ini untuk merujuk pada pengalaman rasa oleh
penerima (sahridaya). Dalam kasus komunikasi manusia yang bersifat
kasual, rasaswadana dikatakan berhasil jika penerima membagi
pesan sebagaimana dimaksud oleh pengirim. Namun, dimensi spiritual melampaui
hal tersebut.
Tidak semua komunikasi menghasilkan pencapaian rasa dalam
bentuk yang ideal. Rasa adalah esensi atau kenikmatan
estetika. Bharata Muni mengistilahkan hal ini sebagai rasa karena
hal tersebut layak untuk dinikmati. Ada rasa unik untuk
setiap bhava. Menurut Bharata Muni,
kombinasi vibhavas dan anubhavas bersama
dengan vyabhichari bhavas akan menghasilkan rasa.
Ini adalah sthayee bhava yang mengarah ke rasa.
Apa yang terjadi adalah sthayee bhavadirangsang oleh vibhava di
dalam pikiran dan akan meningkat dengan anubhava dan sanchari
bhava, dan pikiran akan sangat menerima pengalaman rasa pada
pengalaman ini.
Masalah
bagaimana makna dari pesan dicapai telah banyak diperdebatkan oleh para sarjana
dan filsuf. Misalnya, ada perdebatan mengenai unit makna. Beberapa melihat
kata-kata sebagai unit makna dalam komunikasi verbal, dimana Bhartrihari
menganggap total kalimat sebagai unit dari makna. Bahkan jika sebuah kata
diambil sebagai unit makna terdapat pandangan yang beragam tentang apa jenis
entitas yang ditandai oleh kata.
Empat tingkat kata dalam kasus abhivyanjana yang
memiliki tingkatan yang sesuai ketika mencoba rasaswadana.
Sedangkan shravana sesuai dengan vaikhari,
sebagaimana manana, nididhyasanadan sakshatkara dengan madhyama, pashyanti dan para masing-masing.
Tidak semua orang yang terlibat dalam komunikasi akan melalui semua tahapan
dari abhivyanjana dan rasaswadana. Sadharanikaran (komunikasi)
sebagai kegiatan sosial dan mental akan hanya membutuhkan vaikhari dan madhyama di
bagian pengirim dan shravana dan manana di
bagian penerima. Tapi, dimensi spiritual dari proses tersebut juga akan
membutuhkan tingkat lanjut. Dengan kata lain, tidak semua pihak yang
berkomunikasi akan mencapai rasaswadana dalam bentuk yang
ideal. Sebaliknya, itu hanya dapat dialami oleh sahridayas dalam
arti ideal istilah.
Bharata Muni menjelaskan sadharanikaran sebagai
titik klimaks dari drama ketika penonton menjadi satu dengan aktor yang
menempatkan pengalaman melalui aktingnya di atas panggung dan secara bersamaan
menghidupkan kembali pengalaman yang sama. Proses ini telah digambarkan
sebagai rasaswadana. Ketika sadharanikaran terjadi,
berbagi atau penyatuan dari pengalaman telah berlangsung dalam bentuk yang
penuh. Menurut Bhattanayak, esensi sadharanikaran adalah
untuk mencapai generalisasi atau kesatuan antara orang-orang.
Dua hal yang harus dicatat di sini. Pertama, vak (kata
atau ucapan) dalam kontinum para-sakshatkara diidentifikasi
dengan sang Brahman. Oleh karena itu, sakshatkara adalah
keadaan mengalami Diri sebagai Brahman (“Aham Brahma asmi“). Kedua,
Brahman dianggap sebagai rasa tertinggi (“rasovaisah“) dan
karenanya rasaswadana di dalam tujuan utamanya akan
menjadi rasaswadana dari Brahman. Dalam tahap ini juga ada
kesatuan Diri dan sang Brahman. Dalam kedua hal, sadharanikaran memenuhi
syarat untuk menjadi sarana bagi tercapainya moksha.
Komunikasi Sebagai Proses Mencapai Sahridayata
Tidak ada komunikasi yang benar-benar sempurna. Ada
kekuatan yang berlanjut pada cara kerja, doshas atau suara,
yang cenderung mendistorsi pesan dan menyebabkan miskomunikasi. Jika kita
mengacu pada puisi Hindu, terdapat konsep rasa-bhanga (gangguan
pada rasaswadana). Mungkin terdapat banyak penyebab untuk masalah
ini. Misalnya, ketidaksesuaian arti antara pengirim (encoder) dan
penerima (decoder) pesan apapun dapat terjadi. Model
tersebut harus diinterpretasi dengan mencakup semua suara, yaitu semantik,
mekanik, dan lingkungan.
Bhartrihari telah mempertimbangkan kemungkinan ini dalam
kitab Vakyapadiya, bahwa selalu ada cara untuk mengatakan hal-hal yang
bertentangan tentang apa yang ada di dalam teks dan apa yang dimaksudkan oleh
si subjek komunikasi. Untuk mengurangi ketidakpastian, beberapa teks suci
dibuat otentik dengan pendirian yang kuat. Pertimbangan ini membawa kita pada
konsep sandarbha (konteks). Efektivitas dari pesan apapun
tergantung pada lingkungan komunikasi. Pesan yang sama mungkin memiliki arti
yang berbeda dalam konteks yang berbeda.
Gagasan
mengenai konteks dalam proses komunikasi membuat konsep komunikasi Hindu
menjadi komprehensif. Pentingnya sebuah konteks dilihat dari perannya yang
dapat disematkan pada sebuah pesan bahkan jika si pengirim tidak teridentifikasi
oleh si penerima. Dengan kata lain, berkat peran dari konteks, makna dari pesan
apapun dapat dipastikan tanpa mendeterminasi maksud sebenarnya dalam pikiran
pembicara, yakni cukup hanya dengan memperhitungkan faktor-faktor
kontekstualnya. Jadi karena konteks sebuah teks dapat mempertahankan
ke’obyektif’an maknanya.
Meskipun kedua pengirim dan penerima pesan harus
mencapai sahridayas, Bhartrihari berteori komunikasi dari
sudut pandang penerima. Dia telah membahas bagaimana arti yang dimaksud dipastikan
meskipun ada kemungkinan makna yang bertentangan atau divergen dari pesan yang
sama. Secara singkat, sandarbha (konteks), seperti dibahas
di atas, dan intuisi (pratibha), yang terbawa kepada si penerima,
memastikan pemahaman yang tepat dari setiap pesan.
Pratikriya mengacu
pada tanggapan dari si penerima setelah menerima pesan. Ini adalah proses umpan
balik, yang memungkinkan penerima untuk memiliki peran aktif dalam proses
komunikasi. Umpan balik dapat dipahami sebagai kesamaan proses langkah-demi-langkah
yang dalam mengembalikan pesan yang mengikuti langkah yang sama dijelaskan di
atas. Proses Sadharanikaran menuntut sahridayas menjalani
jenis dinamika otomatisasi yang sama dalam mengambil peran dari si pengirim dan
si penerima secara bolak-balik. Di sini, kedua pihak (sahridaya-pengirim
dan sahridaya-penerima) bertindak sebagai pengirim dan penerima
secara bersamaan. Dan, proses encoding dan decoding juga terjadi secara
bersamaan.
Ini tidak berarti bahwa umpan balik selalu mengafirmasi.
Namun, umpan balik membuat proses komunikasi terus berlangsung. Salah satu
fitur unik dari model sadharanikaran adalah bahwa pemberian
umpan balik tidak universal. Proses umpan balik akan ada hanya ketika
dibutuhkan. Hal ini diperlukan tentu dalam bentuk komunikasi fisik atau
duniawi. Dalam komunikasi, umpan balik yang memadai yang dicari. Tapi setelah
mencapai keadaan nididhyasana, tidak perlu umpan balik eksternal.
Dalam keadaan ini, sahridayas menjadi mampu memahami satu
sama lain dan mengalami hal yang sama secara jelas. Dalam keadaan sakshatkara,
mereka yang telah tersahridaya sudah dalam keadaan moksha, yang
merupakan tujuan akhir dari proses sadharanikaran.
Komunikasi, sebagaimana dipahami dalam model sadharanikaran,
adalah proses mencapai sahridayata, yaitu, saling pengertian,
kesamaan atau kesatuan. Hanya ketika pihak berkomunikasi mencapai sahridayata,
dan pihak yang berkomunikasi mengidentifikasi satu sama lain sebagai sahridaya,
maka proses komunikasi telah memenuhi syarat dan dapat dianggap sebagai sadharanikaran.
Di sini, komunikasi adalah perpaduan antara pihak yang berkomunikasi (sahridayas) dengan
maksud untuk tidak hanya membujuk satu atau yang lain tetapi untuk menikmati
proses pada saat berbagi pesan. Selanjutnya, dari diskusi di bagian sebelumnya,
kesimpulan berikut ini diambil pada:
Singkatnya,
poin-poin berikut menyajikan garis besar Sadharanikaran
Komunikasi Model:
1.
Struktur model yang
non-linear. Sturktur menggabungkan gagasan dua arah dari proses komunikasi
sehingga muncul saling pengertian dari pihak yang berkomunikasi. Oleh karena
itu bebas dari keterbatasan model komunikasi linier.
2.
Model ini
menggambarkan bagaimana komunikasi yang sukses adalah mungkin dalam masyarakat
Hindu di mana hierarki kompleks kasta, bahasa, budaya dan praktik keagamaan
adalah sesuatu yang lazim. Sahridayata membantu mereka untuk
berkomunikasi untuk menyerap hubungan yang tidak setara berlaku di masyarakat
dan proses komunikasi yang sangat difasilitasi.
3.
Keterkaitan antara
pihak yang berkomunikasi adalah sangat penting di sadharanikaran.
Di sini bukan melihat penyebab hubungannya tetapi hubungan itu sendiri adalah
sesuatu yang signifikan. Misalnya, hubungan guru-shishya selalu
dianggap sakral dalam dirinya sendiri. Dan, tidak seperti teori komunikasi
Barat yang mana tidak menekankan pada dominasi oleh sang pengirim pesan.
Sebaliknya, model ini melihat kedua pihak yang berkomunikasi sebagai pihak yang
sama-sama penting.
4.
Model ini
menunjukkan bahwa abhivyanjana (encoding) dan rasaswadana (decoding)adalah
kegiatan yang paling mendasar dalam komunikasi. Dengan kata lain, mereka adalah
penentu dalam sadharanikaran.
5.
Hal ini menunjukkan
bahwa perspektif Hindu pada komunikasi lebih menekankan pada aktivitas internal
atau intrapersonal. Misalnya, kedua proses mengandung encoding dan decoding dari
empat lapisan mekanisme dalam bentuk yang ideal. Komunikasi melibatkan
pengalaman lainnya yang berjarak daripada rasionalitas objektif dari organ
sensorik.
6.
Dengan
tersedianya sandarbha (konteks), model ini menjelaskan
bagaimana makna bisa diberikan pada sebuah pesan bahkan jika si pengirim tidak
teridentifikasi ke penerima. Makna dimaksudkan pesan apapun dapat dipastikan
karena konteks, tanpa menentukan maksud sebenarnya dalam pikiran pembicara
hanya dengan mengambil faktor-faktor kontekstual ke rekening. Jadi karena konteks
teks dapat mempertahankan ‘obyektif’ artinya.
7.
Ruang lingkup
komunikasi dari perspektif Hindu yang luas. Seperti yang digambarkan dalam
model, komunikasi yang lebih luas cukup untuk menangani semua dari tiga dimensi
kehidupan: adhibhautika (fisik atau duniawi), adhidaivika (mental)
dan adhyatmika(spiritual). Dalam konteks sosial atau duniawi,
komunikasi adalah proses tersebut di mana, dalam kondisi ideal, manusia
mencapai sahridayata. Dalam konteks mental, komunikasi adalah
proses memperoleh pengetahuan yang benar serta pengalaman bersama yang bersifat
mutual dan tentunya juga memiliki aspek spiritual.
8.
Tujuan dari
komunikasi yang diusulkan dalam model ini tentu untuk mencapai generalisasi
atau saling pengertian. Namun, tujuan tersebut tidak akan terbatas hanya sejauh
ini. Sama seperti Hindu yang selalu menekankan untuk mencapai semua chatustayas
purushartha(yaitu, empat tujuan hidup: artha, kama, dharma dan moksha),
model ini juga menjadikan komunikasi sebagai sesuatu yang mampu mencapai
seluruh tujuan ini. Dengan demikian, model ini seirama dengan pandangan Hindu.
Sanchar, seperti
yang diharapkan dalam agama Hindu, telah terbukti sebagai sarana untuk
mencapai moksha. Setelah menetapkan fakta bahwa yoga mengacu pada
sistem atau metode untuk pencapaian moksha dan sudah
mendirikan sanchar sebagai sarana tersebut, maka tak ada
alasan apapun untuk tidak melihat sanchar juga sebagai yoga.
Dengan demikian, dengan jelas bahwa proses komunikasi (sanchar) dapat
diterima sebagai jenis yoga asalkan proses tersebut mampu sebagai sarana
pencapaian moksha. Hindu telah menetapkan moksha sebagai
tahapan tertinggi dari purushartha chatustaya (empat tujuan
hidup manusia) dan telah memperkenalkan jalan yang beragam, seperti halnya
beragam jenis yoga, untuk pencapaian moksha, dan sancharyoga dalam
hal ini merupakan tambahan.
Istilah vidya telah diartikan dalam
beragam makna dalam kitab-kitab Hindu. Terkadang ia digunakan hanya untuk
merujuk pengetahuan teoritis dari kitab-kitab atau meditasi pada dewa-dewa
(sebagai contoh Brihardaranyaka Upanishad-4.4.10; Ishavaya Upanishad-9). Namun,
dalam arti positifnya, istilah yang sama digunakan untuk merujuk pada
pengetahuan yang sesungguhnya, Brahmajnana, yang mengantarkan pada keabadian
(Kena Upanishad-2.4). Kebalikan vidya yakni avidya, di mana pengetahuan
mengenai dunia dan keduniawian. Pencapaian spiritualitas dan moksha adalah
perhatian utama dari vidya.
Di dalam Hindu Ortodoks, martabat dari berbagai disiplin
pengetahuan akan menjadi tinggi hanya jika hal tersebut berkualifikasi sebagai
sebuah vidya (pengetahuan sejati). Hal ini berimplikasi
bahwa setiap disiplin dari pengetahuan harus merupakan sebuah disiplin
(shastra) tentang moksha pada puncaknya. Oleh sebab itu, ilmu komunikasi juga
harus menjadikan pencapaian moksha sebagai tujuan utamanya agar sanchar-shastra bisa
tergabung dalam Hindu Ortodoks. Dengan kata lain, ilmu komunikasi akan dianggap
sebagai sebuah pengetahuan sejati (vidya) di dalam
lingkungan Hindu jika, dan hanya jika, proses dari komunikasi memenuhi syarat
untuk mencapai moksha.
Hal ini telah didiskusikan, dengan mengacu pada
model sadharanikaran, komunikasi tersebut dapat menjadi tujuan
dalam mencapai moksha. Dengan kata lain, komunikasi, sebagaimana
yang diharapkan dalam Hinduisme, memiliki kemampuan tidak hanya sebagai sebuah
proses sadharanikaran dalam kehidupan duniawi namun juga
mampu dalam mencapai moksha di dalam kehidupan. Sebagai
tambahan, hal tersebut telah dibentuk bahwa proses komunikasi (sanchar)dapat
diterima sebagai sebuah jenis yoga. Hal ini telah memberikan dasar yang cukup
untuk disiplin komunikasi agar dapat memenuhi syarat untuk dianggap
sebagai vidya di dalam Hindu ortodoks.
Pendekatan komunikasi sebagai sebuah vidya tidak
berimplikasi pada terbuangnya aspek avidya.Seperti yang dikatakan
di atas, bentuk komunikasi Hindu berhubungan dengan semua dimensi kehidupan
seperti adhibhautika (fisik atau fana), adhidaivika (mental)
dan adhyatmika (spritual). Sedangkan disiplin komunikasi
merupakan avidya di wilayah fisik dan mental, ia menjadi
semacam vidya dengan menggabungkan gagasan dari sancharyoga. Ko-eksistensi
dari aspek vidya dan avidya dalam
disiplin komunikasi (sancharshastra) tidak mengundang
berbagai situasi yang kontradiktif atau problematis; melainkan menaikkan
signifikansi disiplin Hindu ortodoks. Karena seseorang yang mengetahui vidya
dan avidya secara bersamaan mendapatkan keabadian lewat vidya dengan
melewati kematian melalui avidya. (“Vidyamchavidyam cha
yastadveda ubhayam saha, Avidyaya mrityum tirtva
vidyayaamritamashunte”—Ishavasya Upanishad-11.)
Ada ruang untuk menggeneralisasikan konsep dan
konstruk sahridayata dalam studi yang lebih luas dalam
filsafat Hindu. Lebih jauh lagi, dengan membayangkan nilai positif dari sahridayata,teori sadharanikaran dan
Sadharanikaran Komunikasi Model
memiliki ruang untuk digeneralisasikan dalam konteks global. Akar Sadharanikaran Komunikasi Model yang berada
dalam budaya Hindu tidak membatasi ruang lingkup untuk penguniversalisasian
modelnya. Bahkan, ruang lingkup model komunikasi Hindu, seperti Sadharanikaran Komunikasi Model, dalam
mempromosikan perdamaian dan resolusi konflik harus dipahami dan digunakan
secara tepat.
Kesimpulan
Bharata Natyashastra dan Bhartrihari Vakyapadiya
merupakan sumber utama dalam teori dan praktek komunikasi Hindu. Sebagian besar
konsep seperti sadharanikaran, sahridayata, rasaswadana,
sakshatkara, dan lain-lain adalah konsep-konsep formal yang secara
tegas didirikan pada puisi, estetika dan linguistik bahasa Sansekerta serta
disiplin lain dari sistem filosofi pengetahuan agama Hindu.
Sadharanikaran sebagai
konsep/teori tidak harus dibingungkan dengan Model Komunikasi Sadharanikaran (Sadharanikaran Komunikasi Model). Sadharanikaran sebagai
konsep/teori, yang merupakan salah satu teori yang signifikan dalam puisi
sansekerta dan disiplin lainnya, memiliki akarnya pada kitab Natyashastra
karangan Baratha Muni dan diidentifikasi dengan Bhattanayaka. Padahal, Sadharanikaran Komunikasi Model mengacu pada
model komunikasi, yang mengacu pada konsep klasik/teori sadharanikaran yang
bersama dengan sumber daya lainnya dalam rangka untuk memvisualisasikan (teori)
komunikasi dalam perspektif Hindu.
Asumsi meta-teoritis dari model ini bisa kita telusuri
dalam Vedanta. Cara Hindu berkomunikasi tentu menekankan pada aktivitas
internal atau intrapersonal. Hal ini dipahami bahwa abhivyanjana dan rasaswadana adalah
kegiatan mendasar dalam komunikasi, dan dalam komunikasi kehidupan Hindu melibatkan
pengalaman lainnya yang berjarak dari rasionalitas objektif dari organ
sensorik. Kecenderungan ini memfasilitasi konsep sahridayata serta
yang lainnya yang akan diwujudkan secara praktis.
Daftar
Pustaka
Selected
Bibliography:
Adhikary, N. M. (2003). Hindu awadharanama
sanchar prakriya [Communication in Hindu concept]. A dissertation presented to
Purvanchal University, Nepal in the partial fulfillment of the requirements for the Degree of Master of Arts in Mass
Communication and Journalism.
Adhikary, N. M. (2007). Sancharyoga: Verbal
communication as a means for attaining moksha. A dissertation presented to the
Faculty of the Graduate School of Pokhara University, Nepal in the partial
fulfillment of the requirements for the Degree of Master of Philosophy.
Adhikary, N. M. (2009). An introduction to
sadharanikaran model of communication. Bodhi:
An Interdisciplinary Journal, 3(1), 69-91.
Adhikary, N. M. (2010). Sancharyoga: Approaching
communication as a vidya in Hindu orthodoxy. China Media Research, 6(3), 76-84.
Adhikary, N.M. (2011). Theorizing communication: A
model from Hinduism. In Y.B. Dura (Ed.), MBM
anthology of communication studies (pp. 1-22). Kathmandu: Madan Bhandari
Memorial College.
Adhikary, N. M. (2012). Hindu teaching on conflict
and peacemaking. In L. Marsden (Ed.), Ashgate
research companion on religion and conflict resolution (pp. 67-77).
Farnham, Surrey (UK): Ashgate Publishing.
Adhikary, N.M. (2013). Communication theory and
classical Sanskrit texts. Rural Aurora,
2, 112-125.
Adhikary, N. M. (2014). Theory and practice of communication – Bharata Muni. Bhopal:
Makhanlal Chaturvedi National University of Journalism and Communication.
Adhikary, N. M. (2016). Hinduism. International Encyclopedia of Communication
Theory and Philosophy, pp. 831-838.